Foto: Michelle de Jonker

Manado – Dua buah bangunan putih, yang mirip menara terlihat jelas dari pinggir pantai Pulau Bangka. Keduanya berada berdiri di sela-sela perbukitan dengan latar pepohonan hijau di belakangnya. Bangunan itu dianggap petaka oleh masyarakat setempat, karena merupakan bagian dari pabrik tambang yang merusak pulau ini.

“Tolong dihentikan pertambangan di Pulau Bangka ini. Kami prihatin akan pariwisata di Pulau Bangka,” kata seorang Pulau Bangka, Benny Lawolorang kepada detikcom, Jumat (27/4/2018).

Benny dan beberapa tokoh desa khawatir, kehadiran perusahaan tambang di sana telah mengubah kondisi kondisi daerahnya, mulai dari alam, hingga situasi sosial kemasyarakatan. Seorang ibu rumah tangga, Diana juga mengamini soal mulai terbelahnya masyarakat soal kehadiran perusahaan tambang di pulau itu.”Saya menangis di sini karena saya mengingat perjuangan masyarakat agar pulau ini bebas dari tambang yang memecah belahkan kami masyarakat Pulau Bangka. Kami pernah sampai buka baju kami bertelanjang untuk mengusir tambang dari Pulau Bangka yang kami cintai ini,” kata DianaSuatu ketika, masyarakat pernah mendatangi perusahaan tambang untuk menyuarakan penolakannya. Diana bersama ibu-ibu lainnya, bahkan rela memutus urat malu dengan melakukan unjuk rasa dan aksi membuka baju sambil berjalan meminta tidak ada lagi pengelolaan tambang di Pulu Bangka.

Mereka sepakat, tidak perlu ada tambang untuk mensejahterakan penduduk di Pulau Bangka, karena selama ini mereka sudah cukup sejahtera dengan hasil pertaniannya antara lain hasil kopra dan kacang mente. Begitu juga keindahan alamnya yang lebih cocok untuk perkembangan pariwisata di Sulawesi Utara.

Pulau Bangka berada tepat di hadapan Pulau Bunaken yang dikenal dengan keindahan alam bawah lautnya. Pulau dengan luas 3.319 hektare dengan jumlah penduduk sekitar 2.649 jiwa, juga tidak terlalu ramai dibicarakan karena kesamaan nama dengan Pulau Bangka-Belitung yang ada di Sumatera.

Pesona alam yang ada di pulau ini tidak kalah indah, dengan pantai berpasir putih ini. Pulau ini memiliki tiga kampung yang terdiri dari empat lingkungan, di antaranya yakni Kampung Lihunu, Kampung Libas dan Kampung Kahuku.

Ancaman rusaknya pariwisata atas berdirinya perusahaan tambang di sana juga disuarakan oleh wisatawan asing. Thibault yang berpaspor Prancis. Dia menyaksikan secara langsung rusaknya alam di sana akibat eksploitasi tambang biji besi.

Dia tidak hanya berlibur, Thibault juga melakukan riset soal kehidupan para penduduk Pulau Bangka yang sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai nelayan.

“Saya memilih lokasi ini untuk tourism tentunya, ya untuk pertanyaan ini kalau saya punya kebebasan menjawab sebenarnya saya adalah periset kehidupan para nelayan, tapi kalau saya diminta pilih, lokasi indah ini dijadikan pariwisata atau tambang saya pasti pilih lebih baik pariwisata dari pada tambang,” ucap Thibault.
(tfq/asp)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *